Upaya mewujudkan pembangunan kesehatan tidak hanya dilakukan melalui perbaikan pelayanan di bidang kesehatan, melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah upaya meningkatkan perbaikan gizi masyarakat. Masalah gizi berakar dari kemiskinan, masalah ini tidak mungkin hanya dipecahkan oleh nutritionist (ahli gizi), dan bukan semata-mata merupakan tanggung jawab Kementerian Kesehatan melainkan perlu melibatkan beberapa sektor baik Instansi Pemerintah, LSM maupun perorangan. Salah satu faktor penghambat yang menyebabkan menurun dan stagnannya cakupan perbaikan gizi antara lain dikarenakan belum optimalnya dukungan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, LSM dan dunia usaha, jumlah dan kemampuan petugas dalam pengelolaan program, serta lemahnya sistem informasi kesehatan. Tampak jelas bahwa semua Stakeholder saling bantu membantu dalam pembangunan di bidang gizi disesuaikan peran masing-masing.
Pemenuhan kebutuhan gizi dilakukan melaui perbaikan pola konsumsi makanan, perilaku sadar gizi, meningkatkan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan tekhnologi; serta meningkatkan sistem kewaspadaan pangan dan gizi. Dalam pemenuhannya dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok rawan antara lain bayi dan balita; ibu hamil dan menyusui.
Peran serta pemerintah di dalam pemenuhan kebutuhan gizi dilakukan dengan cara meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi di masyarakat, sehingga masyarakat dapat memahami yang dimaksud dengan gizi seimbang.
Kementerian Kesehatan RI khususnya Direktorat Bina Gizi Masyarakat Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat merupakan ujung tombak dalam upaya peningkatan gizi terutama di Posyandu. Kementerian Kesehatan RI sebagai pemegang kewajiban dapat dijadikan tolak ukur bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, LSM dan atau dunia Usaha, serta Swasta dalam meningkatkan perbaikan gizi dimasyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara explisit betapa pentingnya upaya penyelenggaraan perbaikan peningkatan gizi tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemerintah sangat serius untuk menangani perbaikan gizi ini.
Hanya saja terdapat perbedaan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang lama tidak mencantumkan peran serta antara pemerintah, pemeirntah daerah dan atau masyarakat dalam pemenuhan gizi sedangkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mencantumkan peran serta tersebut sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Khususnya BAB VIII tentang Gizi Pasal 141, Pasal 142 dan Pasal 143. Pemerintah sangat diharapkan turut serta berperan aktif dan dituntut untuk meningkatkan perbaikan gizi dimasyarakat. Peran serta pemerintah tersebut dapat memberikan distribusi kepada masyarakat akan pentingnya kesadaran dalam upaya peningkatan gizi secara merata dan menyeluruh. Pemerintah berkewajiban menjaga agar mutu gizi dari bahan makanan tersebut memenuhi standard mutu gizi yang sesuai dalam menyamin tersedianya bahan makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan terjangkau, selain itu juga pemerintah bertanggungjawab dalam angka kecukupan gizi. Standard pelayanan gizi dan standard tenaga gizi pada berbagai tingkat pelayanan.
Selain satu tolak ukur pemerintah dalam mencanangkan program perbaikan gizi tersebut yaitu Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). Setelah satu wujjud Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) adalah pemberdayaan keluarga melalui revitalisasi Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) dan pemberdayaan masyarakat melalui revitalisasi Posyandu. Keluarga merupakan unsur terkecil sangat berperan penting di dalam pemenuhan perbaikan gizi, dimulai dari pemenuhan makanan gizi seimbang, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Dalam upaya perbaikan gizi keluarga, dititikberatkan pada kegiatan penyuluhan gizi yang secara keseluruhan kegiatan tersebut dapat dilaksanakan oleh masyarakat sendiri.
dengan munculnya masalah gizi tersebut, maka diperlukan pendekatan perbaikan gizi melalui keluarga maupun masyarakat, bukan hanya peraturan yang memerintahkan tetapi juga kita harus sadar, mengetahui bahwa perlu adanya penanganan yang lebih ektra terhadap masalah gizi yang sedang kita hadapi saat ini. (Purwanta, SH, MH-Setditjen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar